Museum Maritim adalah museum yang menjadikan aspek kemaritiman sebagai tema utamanya. Di dalam museum maritim, dipamerkan berbagai benda bersejarah seperti kapal, lukisan, senjata angkatan laut, atau benda-benda lain yang berhubungan dengan dunia maritim. Kurator museum maritim akan mengatur sedimikian rupa agar benda-benda tersebut menjadi ‘hidup’ dan memiliki alur cerita yang baik sehingga dapat memengaruhi perspektif dan pola pikir pengunjung. Di Indonesia ada empat museum maritim tersebar di Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Magelang, dan Surabaya. Keempat museum tersebut memiliki tema khusus yang berbeda; ada yang khusus mengangkat tema militer dan angkatan laut, ada pula yang mengangkat tentang sejarah maritim.
Sejak abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kondisi itu membuat bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa penjelajah samudera. Kenyataan akan kejayaan maritim Indonesia di masa lampau memang bukan sekadar mitos yang dilebih-lebihkan catatan sejarah. Sejak dahulu, bangsa Indonesia telah menjadikan laut sebagai bagian penting dari kehidupan keseharianya. Sebelum kedatangan bangsa penjajah, laut Indonesia juga telah digunakan sebagai “titik temu” berbagai suku bangsa yang saling berinteraksi dalam hal ekonomi, percaturan politik, hingga pertukaran bahasa dan budaya. Di seluruh penjuru Nusantara telah tersebar berbagai bandar dagang dan pelabuhan-pelabuhan besar. Sejarah pun telah menyebutkan bahwa bersatunya Nusantara adalah karena kebesaran armada maritimnya.
Cerita tentang kejayaan maritim Nusantara juga tercermin dalam kisah Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya merupakan negara maritim yang kuat, sehingga dapat menguasai seluruh Sumatra dan mengirimkan ekspedisinya ke Jawa serta menguasai Selat Malaka hingga Tanah genting Kra. Di puncak kejayaannya, Sriwijaya menjadi tuan atas Selat Malaka dan menguasai rute perdagangan yang melalui selat ini. Pada tahun 1178, seorang penulis Tiongkok, Chou K’u-fei, melaporkan bahwa beberapa kapal asing yang lewat akan diserang jika tidak masuk pelabuhan Sriwijaya atau membayar tol. Kapal-kapal Sriwijaya melakukan pelayaran sendiri antara Tiongkok dan India. Ia juga mengirimkan utusan ke Tiongkok dan diakui sebagai negara penguasa di Asia Tenggara.
Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-14, kekuatan maritim Nusantara digantikan oleh Kerajaan Majapahit. Segala kemegahan kekuatan maritim Majapahit diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Arus Balik: di zaman Majapahit, Arus Balik peradaban berlangsung dari wilayah Bawah Angin di Selatan ke Atas Angin di Utara. Majapahit memang dikenal memiliki kehebatan sebagai kerajaan besar penguasa Arus Selatan hingga mampu menerjang penguasa kerajaan Utara. Majapahit menjadi kekuatan maritim terbesar pada abad itu (1350-1389 M) dan mengusai hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini, hingga Singapura (Tumasik), Malaysia (Malaka), dan beberapa negara ASEAN lainnya.
Namun, masih menurut Pramoedya, kini arus telah berubah ke arah sebaliknya: dari Utara ke Selatan. Arus zaman telah membalik, segalanya berubah: kekuasaan laut menjadi mengkerut ke pedalaman, kemuliaan menukik dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kedunguan penalaran, persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan. Penjajahan kolonial adalah penyebab malapetaka ini. Mindset masyarakat Indonesia yang semula berorientasi pada laut dialihkan perlahan-lahan ke darat. Bangsa Indonesia pun hidup semakin jauh dari jati diri azalinya sebagai bangsa maritim. Indonesia kini diatur oleh paham kontinental dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, tetapi juga meminggirkan budaya maritim. Hal itu terus mengakar kuat hingga sekarang.
Kehadiran museum bertema maritim di tengah persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia –pudarnya budaya dan pola pikir maritim– sangat relevan. Budaya maritim yang begitu kaya membutuhkan ruang untuk terus lestari dan berkembang. Kekayaan dan keberagaman budaya maritim akan hilang apabila tidak dikomunikasikan kepada khalayak dan diberi ruang untuk terus hidup.
Terlebih lagi, di tengah dinamika sosial dan budaya yang berkembang begitu cepat, museum bertema maritim dapat menjadi media alternatif pendidikan non-formal yang berfungsi untuk merekonstruksi pola pikir maritim dan wawasan Nusantara. Hal itu ditegaskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam tulisannya yang mengatakan bahwa museum sebagai alat pendidikan zaman modern akan senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan dunia modern itu sendiri. Sama seperti museum-museum pada umumnya, museum bertema maritim di Indonesia juga memiliki tanggung jawab dan fungsi untuk melestarikan, membina, sekaligus mengembangkan budaya maritim baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui pesan-pesan yang dirangkai lewat display dan ruang pameran, museum bertemakan maritim di Indonesia berfungsi sebagai sarana komunikasi dan jembatan penghubung yang dapat memicu kesadaran dan pengetahuan bagi masyarakat.
Keberadaan museum bertema maritim di Indonesia menjadi sangat penting mengingat museum tidak hanya memiliki fungsi sebagai pelindung benda cagar budaya, melainkan juga sebagai tempat pembentukan ideologi, disiplin, dan pengembangan pengetahuan bagi publik. Hal itu juga ditegaskan dalam kode etik ICOM, “Museum memiliki tugas penting untuk mengembangkan peran pendidikan dan menarik pengunjung lebih luas dari kalangan masyarakat, lokalitas, atau kelompok yang dilayaninya. Interaksi dengan masyarakat pendukung dan pembinaan serta promosi warisan yang diampunya merupakan bagian integral dari pendidikan yang harus dilaksanakan oleh museum.